Beriman Bahwasanya Allah Berbicara (Memiliki Sifat Kalam) Sesuai Dengan Kehendak-Nya Bagian Kedua

🌐 WAG Dirosah Islamiyah

Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad


▪🗓 SELASA
| 06 Sya’ban 1441 H
| 31 Maret 2020 M

 🎙 Oleh : Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى
 📗 Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

🔈 Audio ke-42
📖  Beriman Bahwasanya Allah Berbicara (Memiliki Sifat Kalam) Sesuai Dengan Kehendak-Nya Bagian Kedua
DOWNLOAD
~•~•~•~•~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصْحابه  ومن والاه

Anggota grup whatsapp Dirosah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allah.

Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh Fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala.

Masih kita pada pasal Beriman Kepada Allah.

Ada sebagian orang-orang yang menyimpang karena memang di dalam hatinya sudah ada penyakit. Kemudian dia merasa pernah belajar bahasa arab, berusaha untuk mentahrif (merubah) kalamullah supaya sesuai dengan keinginannya, sesuai dengan hawa nafsunya dan dia membaca,

وَكـلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِبمًا

Padahal asalnya,

وَكـلَّمَ اللَّهُ

Dia ingin menjadikan Musa “dialah yang melakukan”, dialah yang berbicara, sementara “Allah, Dialah yang diajak berbicara”. Sehingga dia merubah harakat. Dia membacanya,

وَكـلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِبمًا

Sehingga “Musa yang berbicara” sementara “Allah, Dialah yang diajak bicara”. Maka ini adalah (ضَلَـٰلًا) kesesatan seseorang merubah kalamullah supaya sesuai dengan hawa nafsunya.

Baik, seandainya ini adalah benar secara bahasa. Bagaimana dia akan memahami firman Allah yang akan disebutkan oleh syaikh setelahnya di sini. Yaitu di dalam surat Al-A'raf ayat 143. Mungkin dia bisa membolak-balikan harokat seperti pada surat An-Nisa ayat 164, dan ini adalah sebuah kesesatan, tapi dia tidak bisa melakukannya di dalan surat Al-A’raf 143, yaitu firman Allah,

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ

“Dan ketika Musa datang kepada perjanjian Kami”.
⇒ Nabi Musa alaihissalam memenuhi panggilan Allah.

وَكَلَّمَ اللَّهُ رَبُّهُ

“Dan Rabbnya berbicara kepadanya”.
⇒ Nabi Musa alaihissalam datang kepada Allah Subhanahu wa Taala, kemudian Allah berbicara kepadanya.

وَكَلَّمَ اللَّهُ رَبُّهُ

Rabbuhu di sini adalah fail, Rabb marfu'. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dialah Rabb yang berbicara kepada Musa alaihissalam.

وَكَلَّمَ اللَّهُ

Mana ma'fulnya, ma'fulnya adalah dhamir ⇒ dhamir hu

Seandainya mereka bisa membolak balik harakat pada ayat sebelumnya, maka pada ayat ini mereka tidak bisa, seandainya mereka  merubah menjadi رَبَّهُ

وَكَلَّمَهُ رَبَّهُ

Maka ini dalam bahasa arab tidak dibenarkan dan akan membuat tertawa orang yang bisa memahami bahasa arab. Tidak  mungkin dibaca وَكَلَّمَهُ رَبَّهُ.  Karena di sini ada dua maf'ul dan tidak ada di sana failnya, tidak ada pelakunya.

⇒ Hu (هُ) di sini tidak mungkin jadi fa'il. Apabila datang setelah fi'il maka dia senantiasa menjadi maf'ul, tidak mungkin dia jadi fa'il.

Sehingga jelas ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah, Dialah yang berbicara kepada Musa.

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ

"Dan Allah berbicara kepada Musa alaihissalam.”

Demikian orang-orang yang menyimpang, karena mereka mengikuti hawa nafsu sehingga banyak تناقض (pertentangan) di antara mereka. Banyak pertentangan sendiri dalam dalil-dalil yang mereka datangkan.

Adapun ahlus sunnah  wal jamaah maka mereka الاستسلام لله. Mereka menyerahkan diri mereka secara total kepada Allah dan tidaklah mereka beraqidah kecuali setelah mengumpulkan dalil-dalil, baik dari Al-Quran maupun dari As-sunnah, melihat ucapan para salaf, barulah mereka menyimpulkan sebuah aqidah.

Berbeda dengan orang-orang yang menyimpang, maka mereka memiliki aqidah terlebih dahulu baru setelah itu mereka mencari dalilnya. Dalil yang kira-kira bisa diplintir, bisa dibawa kepada pemahaman mereka.

Kemudian juga di sini disebutkan, yaitu di dalam surat Al-Araf ayat 143, ketika Nabi Musa alaihissalam datang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemudian di sana terjadi pembicaraan, percakapan antara Allah dengan Nabi Musa alaihissalam.

Ini menunjukan bahwasanya kalamullah ini adalah dengan masyi'ah. Kalamullah ini adalah dengan kehendak Allah, makanya dia dari satu sisi termasuk sifat fi’liyah, karena dia berkaitan dengan kehendak Allah.

Nabi Musa mengatakan,

رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى

Nabi Musa mengatakan ketika dia mendengar kalamullah, kemudian beliau rindu ingin melihat Allah, senang dan gembira mendengar kalamullah,

كلم رب العلمين

Maka beliau ingin dan rindu untuk melihat Allah, maka beliau mengatakan,

رَبّ أَرِنِى أُنْظُرْ إِلـَيكَ

"Wahai Rabbku tunjukanlah diri-Mu aku ingin melihat Kamu ?"

Setelah itu Allah mengatakan,

لَنْ تَرَأنِي

"Kamu tidak akan melihat-Ku (yaitu di dunia)."

Adanya percakapan ini menunjukkan bahwasanya Allah berbicara dengan pembicaraan yang baru dengan kehendak-Nya dan ini bantahan terhadap sebagian yang mengatakan bahwasanya kalamullah itu adalah tidak berkaitan dengan kehendak Allah. Itu adalah ucapan yang ada di dalam jiwa Allah.

الكلام القائم بالنفسه سبحنه

Menurut mereka yang namanya kalamullah adalah ucapan Allah yang ada di dalam diri Allah, dan ini sifatnya dzatiyah dari dulu (azaliyah), tidak berkaitan dengan masyiatullah, tidak berkaitan dengan kehendak Allah.

Jelas ayat ini menunjukan tentang bahwasanya Allah berbicara kapan Dia kehendaki, dengan siapa Dia kehendaki. Berarti sifat kalam bagi Allah, Dia adalah sifat dzatiyah, dilihat dari satu sisi karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dari dulu Allah memiliki sifat kalam ini.

Kemudian Dia adalah sifat fi’liyah.

باختياره الاحاد

Kata para ulama, dilihat dari individu-individu dari ucapan tadi. Allah berbicara kepada malaikat, Allah berbicara kepada Nabi Muhammad, Allah berbicara kepada Nabi Musa. Inikan individu-individu kalam, yaitu Allah berbicara dengan mereka kapan Dia kehendaki. Berarti dilihat dari sisi ini sifat kalam ini adalah sifat fi'liyah, berkaitan dengan kehendak Allah.

Dan di dalam hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menyebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،

Aku membagi Al-Fatihah antara diri-Ku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian dan bagi hamba apa yang dia minta, kemudian Allah mengatakan,

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،

dan seterusnya

Allah mengatakan, "Apabila hamba-Ku mengatakan,"

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Aku berkata, "Hamba-Ku telah memuji-Ku.

Apabila hamba-Ku mengatakan,"

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Aku berkata, "Hamba-Ku telah memuji-Ku"

“Apabila hamba berkata demikian, Allah berkata demikian”, menunjukkan bahwa Allah berbicara dengan kehendak-Nya, ketika hamba membaca ini maka Allah mengatakan ini.

Ini juga termasuk dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara sesuai dengan kehendak-Nya dan bahwasannya kalamullah bukan hanya sifat dzatiyah saja, tetapi dilihat dari sisi ini dia adalah sifat fi'liyah.

Adapun ucapan mereka yang bahwasanya namanya kalam adalah apa yang ada di dalam jiwa, maka ini tidak ada dalil. Bahkan dalil menunjukkan bahwasanya namanya kalam itu yang diucapkan, di sana ada hurufnya, di sana ada suaranya.

Adapun ucapan yang diucapkan oleh jiwa, atau diucapkan oleh hati, maka tidak disebutkan kecuali ada keterangannya. Kalau yang dimaksud adalah kalam yang ada di dalam jiwa, maka ada keterangannya, ada tambahannya.

Adapun hanya disebutkan “dia berbicara”, maka maksudnya berbicara dengan suara, dengan huruf. Itu kalam menurut orang Arab demikian. Adapun kalau dia bermaksud menyebutkan kalam yang ada dalam jiwa maka dia tambahkan, “dia berbicara dengan hatinya”, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan di dalam Al-Qur'an,

وَيَقُولُونَ فِىٓ أَنفُسِهِم

"Dan mereka berbicara di dalam jiwa mereka.”

Ketika Allah ingin  bermaksud, bahwasanya kalam di sini adalah ucapan yang ada dalam jiwa mereka, bukan yang disampaikan oleh lisan, maka Allah menambah di situ,

فِىٓ أَنفُسِهِم

"Yaitu di dalam jiwa mereka.”

Itu dalam dalil Al-Quran maupun Al-Hadits demikian. Tapi kalau disebutkan kalam secara mutlak maka maksudnya adalah yang didengar, yang ada huruf yang ada suaranya.

Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in sya Allah kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

════ ❁✿❁ ════

Post a Comment

0 Comments